heriyanto
Geografi Politik
POKOK PEMBAHASAN I
Pengertian
geografi politik:
·
Geografi Politik
Geografi
Politik adalah ilmu yang mempelajari relasi antara kehidupan dan aktivitas
politik dengan kondisi-kondisi alam suatu Negara. Aspek-aspek yang terdapat
dalam Geografi Politik dan Geografi itu sendiri antara lain unsur geografis berupa
luas, bentuk wilayah, iklim, sumber daya dan penduduk.
a. Menurut Taylor
2000:783 :
Geografi
Politik (political geography) yang menekankan bahwa teritorial ditafsirkan
sebagai hubungan mendasar antara kedaulatan negara dengan tanah air nasional
yang terletak di jantung legitimasi dan praktik negara modern. Dimana hasilnya
adalah analisis-analisis atas wilayah, kekuasaan dengan ruang yang terfokus
yang berpusat pada negara (http://baehaqiarif.files.wordpress.com/2009/12/geografi.pdf)
b. Menurut
Friederich Ratzel :
Geografi
Politik menekankan kepada hubungan antara faktor fisis geografis dengan ras – ras
di masing – masing negeri dan bentuk pemerintahannya ditentukan oleh alam.
Paham Fisis Determinis. (Hayati, Sri
& Yani, Ahmad. 2007. Geografi Politik. Bandung: PT Refika Aditama).
c. Menurut Otto
Maul :
Geografi
Politik adalah ajaran mengenai bentang alam sebagai ruang hidup politik dimana
kehidupan negara berlangsung.(Hermawan,
Iwan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung: Private Publishing
Geo Politik
a. Menurut
Richard Hennig :
GeoPolitik merupakan
ajaran tentang kekuatan – kekuatan politik di dalam keterkaitan kepada bumi dan
penerapannya dimasa mendatang sehubungan dari hasil yang didapat dari studi
yang dilakukan oleh Geografi Politik.(Hermawan,
Iwan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung: Private Publishing).
Persamaan dan
Perbedaan keduanya :
a. Persamaan
:
1. Geografi
Politik dan Geopolitik sama mengkaji tata ruang di Bumi pada suatu Negara.(http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/11/01/geopolitik/).
2. sebagai dasar
perkembangan suatu negara dan hubungan kenegaraan (http://imsyafii.wordpress.com/2008/04/13/geografi-lingkungan-dalam-ruang-lingkup-geografi/ ).
b. Perbedaan
:
1. Richard Hennig, seorang
profesor di Berlin berpendapat, sesungguhnya yang dipelajari oleh Geografi
Politik adalah bentang alam di mana kehidupan negara berlangsung, namun
ilmu tersebut adalah statis. Sehingga, menurutnya harus ada ilmu
tentang bentang alam yang sifatnya dinamis, yaitu Geopolitik. (Hermawan, Iwan. 2009. Geografi Sebuah
Pengantar. Bandung: Private Publishing).
2. Preston E.
James, GeoPolitik lebih merujuk
kepada suatu organisme yang semakin berkembang. Artinya luas suatu negara dapat
berkembang dengan kekuatan suatu negara, dan sebaliknya apabila kekuatan politk
suatu negara tersebut lemah maka akan mudah direbut teritorinya oleh negara
lain. Sedangkan Geografi Politik
hanya menekankan kepada studi bentang alam. (http://fajargm.net/geopolitik-indonesia).
POKOK
PEMBAHASAN II
GEOGRAFI POLITIK DAN
GEOPOLITIK
Geo-politik pada
dasarnya merupakan cabang ilmu pengetahuan yang relatif baru, dimana pada
awalnya dicurigai sebagai satu “ilmu” yang memberikan pembenaran pada konsepsi Liebensraum
(ruang hidup) di era Hitler, sehingga menimbulkan semacam “kecurigaan” akan
kemanfaatannya secara ilmiah.
Lepas dari hal itu,
satu hal yang sudah pasti yaitu bahwa para pakar dibidang ilmu politik
berpendapat bahwa geografi politik merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
melandasi lahirnya geo-politik
Jika politik diartikan
sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan
tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik
(nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi
geografi dengan pendistribusian tersebut di atas.
Hal ini disebabkan
karena bagaimanapun juga pendistribusian itu harus “ditebarkan” pada hamparan
geografi yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen di seluruh
wilayah negara.
Inilah cirinya yang
ditengarai sebagai sebab mengapa efek dan efektivitas pendistribusian itu
terhadap masyarakat juga tidaklah homogen sifatnya, yang disebabkan oleh dampak
dan intensitas pendistribusian yang bervariasi di seluruh wilayah negara
Jika politik diartikan
sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan
tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik
(nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi
geografi dengan pendistribusian tersebut di atas.
Hal ini disebabkan karena
bagaimanapun pendistribusian itu harus “ditebarkan” pada hamparan geografi yang
memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen di seluruh wilayah
negara. Inilah cirinya yang ditengarai sebagai sebab mengapa efek dan
efektivitas pendistribusian itu terhadap masyarakat juga tidaklah homogen
sifatnya, yang disebabkan oleh dampak dan intensitas pendistribusian yang
bervariasi di seluruh wilayah negara
Karena adanya
perbedaan cara pandang terhadap “penebaran” yang dimaksud di atas serta
dampaknya terhadap masyarakat, maka terdapat perbedaan dalam cara
mendefinisikan geografi politik. Ada yang melihat dari sudut pandang
geografer sehingga geopolitik dianggap sebagai dampak geografi atas proses
politik.
Sebaliknya ada yang
melihat dari kaca mata ahli politik sehingga mendefinisikan geografi politik
sebagai kajian tentang interaksi dinamis proses politik dengan morfologi
negara, misalnya saja dalam landreform. Sedangkan sebaliknya pengaruh
morfologi negara atas dinamika politik misalnya saja terlihat dalam pembagian
pemerintahan daerah maupun dalam penentuan daerah pemilihan pada setiap pemilu.
Antara kedua
sudut pandang tadi ada kesamaannya yaitu mempelajari distribusi spasial
serta interaksi yang terjadi sepanjang jalur spasial tadi.
Sudah barang tentu pengertian jalur spesial telah mencakup aspek morfologi
negara alias konfigurasi geografi negara.
Selanjutnya, apabila
proses politik dianggap sebagai proses interaksi, maka dapat dibayangkan bahwa
secara morfologis proses politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai
proses interaksi, maka dapatlah dibayangkan bahwa secara morfologis proses
politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai satu medan politik
(medan interaksi politik). Sehingga akhirnya dapat didefinisikan geografi
politik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi spasial berbagai
kekuatan atau kepentingan dalam medan politik nasional.
Tentang interaksi
spasial ini kita dapat melihat pada fenomena alam yang berupa medan magnit
bumi. Menurut ilmu fisika, medan magnit bumi secara plastis dapat
dibayangkan terdiri dari rumpun garis gaya magnit yang secara spasial
terdistribusi dari kutub utara magnit bumi menuju ke arah kutub selatan magnit
bumi. Dalam “perjalanan” sepanjang jalur spasial tiap garisnya
dipengaruhi benda-benda atau kandungan-kandungan mineral yang ada dipermukaan
atau di bawah permukaan bumi sehingga dampaknya merupakan terbeloknya jalur
atau menjadi lemahnya garis gaya magnit bumi.
Dengan mempelajari
“hambatan” terhadap garis gaya magnit sepanjang jalur utara-selatan dapat
diketahui adanya kandungan mineral di darat atau adanya kapal selam di bawah
permukaan laut. Gejala demikian ini dinamakan anomali magnetik,
yang dapat dideteksi dengan menggunakan detektor khusus MAD (?).
Sungguhpun disadari
bahwa analogi medan politik dengan medan magnit tidak terlalu pas, akan tetapi
ia merupakan pijakan yang memadai dalam rangka pemahaman distribusi spasial
dari kekuatan (politik) maupun kekuatan medan magnit pada ruang negara.
Setelah diperoleh
gambaran tentang adanya interaksi antara medan politik dengan morfologi negara
maka para pemikir geo-politik berkesimpulan bahwa untuk mencapai tujuan
nasional (politik) haruslah diperhatikan kenyataan-kenyataan geografis atau
geo-morfologi negara agar dimungkinkan penyesuaian-penyesuaian tertentu
sehingga pencapaian itu optimal melalui strategi yang khas sesuai dengan
geo-morfologi yang ada.
Strategi semacam itu
disebut geo-strategi. Di kalangan ASEAN ditengarai adanya perbedaan
geo-strategi antara negara-negara anggota yang berciri maritim (Indonesia,
Malaysia, Singapura, Filipina) dengan negara yang berciri kontinental.
Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan geopolitik maritim dengan geopolitik
kontinental. Dari pengalaman ASEAN ini dapatlah dimengerti bahwa
geopolitik mengalir dari geografi politik.
POKOK
PEMBAHASAN III
PEMIKIRAN DALAM
GEOGRAFI POLITIK.
Pemikiran Kontinental
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, terutama transportasi dan komunikasi, telah
mendorong munculnya kesadaran akan adanya keterkaitan antara geografi dan
dinamika politik dunia. Kesadaran tersebut ditangkap oleh Friedrich
Ratzel dan dirumuskan dalam bentuk Antropho-geografi yang
pada intinya mengulas sintesa antara antropologi, geografi dan politik.
Tujuannya adalah
mempelajari manusia, masyarakat, negara dan dunia sebagai organisme
hidup. Demikian juga Ratzel secara berulang-ulang dalam karyanya
menekankan bahwa pada akhirnya antropho-geografi harus memusatkan pandangan dan
kajiannya pada sisi organisme-nya, dan inilah sesungguhnya awal dari bibit
pemikiran mengenai geopolitik
Pengaruh pemikiran
organismik dari Ratzel terlihat pada pengembangan geografi politik, dimana
hubungan timbal-balik antara manusia dengan alam sekitarnya lebih
ditonjolkan. Ini berarti bahwa tidak hanya geo-morfologi dan iklim saja
yang mempengaruhi manusia akan tetapi juga jenis tanah, budaya setempat dan
luas tanah atau faktor ruang (Raumfactor).
Tidaklah mengherankan apabila dinamika
manusia dan produktivitasnya juga dikaitkan dengan ketersediaan ruang hidup
atau Lebensraum. Hubungan inilah yang kemudian dieksploitir
oleh Haushofen bahwa peningkatan tuntutan hidup dan kebutuhan pengembangan tata
kehidupan memerlukan perluasan dari Lebensraum yang sudah
ada.
Lebih jauh Karl Ritter
dan Ratzel secara terpisah mengidentifikasikan bahwa tabiat, ambisi dan bahkan
budaya manusia dibentuk oleh alam sekitarnya serta menyimpulkan adanya
keterkaitan anatara iklim dan budaya. Itulah sebabnya Ritter kemudian
mengkaitkan Zona Iklim dunia dengan Zona Budaya
Penelitian lebih
lanjut tentang kaitan antara manusia dengan alam sekitarnya menuntun Ratzel
pada kesimpulan bahwa ruang atau Raum merupakan satu faktor penting dalam
perjuangan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Atas dasar logika ini
disimpulkan bahwa bangsa yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi memiliki
validitas klaim yang lebih untuk mendapat ruang tambahan.
Dipandang dari kondisi
politik dunia saat itu, kesimpulan Ratzel ini amat berbahaya, karena dapat
dijadikan pendorong bahkan legitimasi terhadap kolonialisme dan
ekspansionisme. Lebih tajam lagi adalah kesimpulannya bahwa luas wilayah
satu negara merupakan indikator terbaik dari kekuatan politiknya (political
power).
Apabila kesimpulan ini
dikaitkan dengan rumusan Cline mengenai kekuatan nasional satu bangsa bila
dilihat/diamati dari luar, memang berbanding lurus, antara lain dengan critical
mass dari negara bersangkutan dimana critical mass itu sendiri
adalah gabungan dari critical mass penduduk serta critical mass
ruang negara. (Uraian lebih detail periksa buku Sunardi, R.M.
“Teori Ketahanan Nasional”, Lemhannas, 1999).
Menurut Cline, Australia
tidak memiliki critical mass yang besar sebab sebagian besar ruang
negaranya tidak produktif dan ditambah lagi penduduk hanya “kecil” (± 18 juta)
walaupun kualitasnya sangat tinggi dan maju. Demikian pula halnya dengan
Singapura. Kedua negara ini sudah barang tentu berbeda dengan negara
seperti RRC yang memiliki critical mass besar; dan oleh karena itu
berpotensi menjadi negara besar.
Setiap bangsa yang
menegara, menurut Ratzel, haruslah memiliki konsep ruang; apabila
tidak, bangsa bersangkutan akan terdesak menjadi bangsa marginal dalam
perpolitikan global. Kesimpulan semacam ini memang terasa valid pada era
sebelum Perang Dunia II, dimana hampir tiap kawasan dunia, terutama di Eropa,
persaingan untuk mendapatkan Power Position utama tidak jarang
menimbulkan konflik terbuka. Sesudah Perang Dunia II, terutama sesudah
perang dingin berakhir hampir tiap kawasan cenderung membentuk regional
grouping
Maraknya regionalisme
telah mengakhiri tidak hanya perlombaan power position saja, akan tetapi
juga surutnya supremasi politik dan militer sebagai faktor utama penentu
kekuatan nasional satu bangsa, yang kedudukannya digeser oleh faktor ekonomi
Dalam kaitan dengan
konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting
di dalam dinamika hubungan antara negara/antarbangsa, karena batas antar negara
atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka. Sungguhpun
demikian penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi
internasional, akan tetapi latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat
memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam
menarik garis boundary tadi, dan akhirnya bertabrakan dengan negara
lain.
Kasus konflik
teritorial diantara negara-negara berkembang adalah contoh yang amat sangat nyata,
sebab boundary yang ditetapkan oleh penguasa kolonial tidaklah sejalan
dengan sejarah bangsa dan dengan aspirasi politik dari bangsa yang telah
menjadi merdeka.
Kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa boundary tidak selamanya ditaati oleh penduduk perbatasan
(terutama didaerah terpencil) yang dengan seenaknya mengadakan lintas batas
untuk mengunjungi sanak-keluarga di seberang boundary, atau saling
berdagang secara bebas seolah-olah tidak ada boundary. Interaksi
dinamis antar penduduk dua negara, atau interaksi dinamis antara dua budaya
dapat membentuk satu batas semu atau frontier yang
berbeda letaknya secara geografisnya dengan boundary aslinya
terbentuknya frontier
di dalam ruang negara yang disebabkan oleh penetrasi pengaruh seberang boundary.
Apa yang terjadi adalah daerah asimilasi dimana penduduknya lebih “melirik”
keseberang boundary dibandingkan kepada pemerintah daerah atau pusatnya
sendiri.
Berbagai kasus yang
ada di dunia ini, frontier terbentuk karena dua hal, yaitu, pertama,
tidak cukup perhatian pemerintah pada daerah yang menjadi daerah asimilasi;
kedua, tidak ada sarana sirkulasi yang cukup.
Untuk sebab yang
kedua, kelengkapan sarana sirkulasi (transportasi dan komunikasi) biasanya
terjadi di daerah yang sukar dicapai atau daerah terpencil seperti daerah
pengunungan, daerah hutan rimba, pulau terpencil, yang kesemuanya berada di
daerah sepanjang perbatasan dengan negara lain sehingga mudah terkena penetrasi
budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. Semakin lama daerah asimilasi
tidak ditangani atau diperhatikan oleh pemerintah maka ia bisa menjadi makin
meluas; oleh karena itu frontier sifatnya sangat dinamis.
Dilihat dari sisi
politik, rakyat di daerah asilmilasi memiliki kecenderungan untuk membelakangi
pemerintah/sistem politik di negaranya dan tidak jarang bermuara pada keinginan
merdeka. Banyak masyarakat pengunungan yang mengalami hal seperti itu dan
ingin merdeka, misalnya suku Kurdi, suku Karem, suku Meo, dan bahkan sebagian
masyarakat Propinsi Xinjiang di RRC.
Kesemua masyarakat itu
tinggal di wilayah pengunungan yang sukar dicapai. Tidak itu saja, bagi
negara yang wilayahnya luas sekali daerah frontier bisa terjadi dipinggiran
yang jauh dari pusat pemerintahan. Untuk itu disentralisasi adalah jalan
pemecahan yang terbaik. Dari sini terlihat dengan jelas kaitan atau
interaksi antara geografi dan politik.
POKOK PEMBAHASAN IV
PEMIKIRAN DALAM
GEOGRAFI POLITIK
Pemikiran Maritim
Perbedaan dengan para
ahli geografi politik Jerman, seperti Ratzel, Ritter dan sebagainya yang
berorientasi kontinental, Alfred Thayer Mahan merupakan pelopor orientasi
maritim. Menurutnya kekuatan satu negara tidak hanya tergantung pada
faktor luas wilayah daratan dan seisinya, akan tetapi tergantung pula pada
faktor luasnya akses ke laut berikut bentuk pantai dari wilayah negara.
Akses ke laut akan
memudahkan perdagangan yang pada ujungnya membawa kesejahteraan dan penguasaan
perekonomian; sedangkan bentuk pantai yang menguntungkan akan menarik
masyarakat lebih berorientasi ke arah laut. Tidaklah mengherankan apabila
perhatian Mahan pertama-tama ditujukan ke Laut Tengah yang selalu menjadi ajang
perebutan dan peperangan laut pada abad ke 16, 17 dan 18. Bentuk pantai
kawasan pinggiran Laut Tengah membuat masyarakatnya berorientasi pada laut dan
perdagangan.
Dalam pengamatan
Mahan, negara-negara tepian Atlantik selain memiliki akses ke laut secara luas,
bentuk pantainya pun memudahkan pengembangan pelabuhan-pelabuhan besar sehingga
akan terbentuk satu masyarakat maritim yang kosmopolitan. Selain itu,
Mahan juga berkesimpulan bahwa bentuk dan panjang pantai satu negara akan
menjadi salah satu indikator utama kekuatan laut (sea power) dari negara
yang bersangkutan.
Observasi dan
kesimpulan demikian ini sering disebut sebagai satu geographical determinist
- bahwa geografi menentukan tata laku dan karya manusia. Di sinilah
kiranya Mahan, Ratzel, Ritter dan kawan-kawannya pada era itu dapat dikatakan
sama-sama merupakan geographical determinist. Bedanya adalah bahwa
Ratzel dan Ritter menengok ke darat dalam pengembangan kekuatan (power)
satu negara, sedangkan Mahan menengok ke laut.
Menurut Mahan
ada empat faktor alamiah yang mempengaruhi pembentukan kekuatan laut satu
negara. Pertama, situasi geografi, terutama mengenai
Topo-morfologinya yang dikaitkan dengan ada tidaknya akses ke laut serta
penyebaran penduduknya. Kedua, kekayaan alam dan zona iklim, karena
faktor ini akan terkait dengan kemampuan industri serta kemandirian dalam
penyediaan pangan. Ketiga, konfigurasi wilayah negara, yang menurut
Mahan akan mempengaruhi karakter rakyat terutama dilihat dari
orientasinya. Keempat, jumlah penduduk.
Dari keempat faktor
tersebut di atas dapat dicatat bahwa Mahan menaruh perhatian pada konfigurasi
wilayah negara serta pengaruhnya pada karakter rakyat. Pengalaman dan
sejarah umat manusia cukup mendukung hal tersebut, misalnya karakter orang yang
tinggal di pengunungan akan berbeda dengan mereka yang tinggal di dataran
rendah. Demikian juga karakter rakyat kepulauan berbeda dengan rakyat
yang tinggal di kontinen.
Temuan Mahan
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ratzel yang mengatakan bahwa
agar negara menjadi kuat, maka harus memiliki akses ke laut serta wilayah
daratan yang luas. Dari kesimpulan ini maka para ahli Jerman pada abad
ke-20 mulai memikirkan perluasan wilayah negara Jerman ke arah timur dengan
istilah Drang nach Osten.
POKOK
PEMBAHASAN V
Dari Geografi Politik
ke Geopolitik
Sampai dengan akhir
abad ke-19, pemikiran geografi politik didominasi oleh teori Ratzel,
Ritter dan Mahan yang menganggap negara sebagi organisme serta
pengaruh alam terhadap tata laku manusia atau geographical determinist.
Pada awal abad
ke-20 muncul pemikiran dari para ahli Perancis seperti Albert
Demangeon, Louis Febure, Andre Siegfried dan Jacques Ancel, yang
beranggapan bahwa negara sebagai satu organisme hidup memiliki moral
dan spritual sehingga tidak dapat dipandang sebagai satu ruang (space)
yang hampa. Adanya nasionalisme, rasa kebangsaan, faham kebangsaan, cinta
tanah air membuktikan negara bukan sekadar ruang kosong. Pemikiran
demikian ini disebut geographical humanist.
Berdasarkan pada pemikiran para ahli
Jerman dan para ahli Perancis maka Rudolf Kjellen berkesimpulan
bahwa geo-morfologi haruslah dimanfaatkan dari segi politik, maka lahirlah the
politics of geography yang kemudian diberi nama oleh Kjellen sebagai geopolitik.
Secara umum Kjellen memberi definisi geopolitik sebagai satu Science
of the state
Menurut Kjellen sistem politik tentang
negara (sistem geopolitik) adalah:
No.
|
TENTANG NEGARA
|
GEOPOLITIK
|
|
1.
|
a. Kedudukan Negara
|
:
|
Topopolitik
|
b. Bentuk Negara
|
:
|
Morphopolitik
|
|
c. Keadaan Fisik
Negara
|
:
|
Physiopolitik
|
NO.
|
TENTANG EKONOMI
|
EKOPOLITIK
|
|
2.
|
a. Pengaruh
ekonomi
|
:
|
Emporo Politik
|
b. Kemandirian
|
:
|
Autharkhial Politik
|
|
c. Dinamika
ekonomi
|
:
|
Ekonopolitik
|
NO.
|
TENTANG RAKYAT
|
DEMOPOLITIK
|
|
3.
|
a.
Kebangsaan
|
:
|
Etnopolitik
|
b. Sejarah dan
asal-usul
|
:
|
Plethopolitik
|
|
c. Psyche Bangsa
|
:
|
Psychopolitik
|
NO.
|
TENTANG MASYARAKAT BANGSA
|
SOSIOPOLITIK
|
|
4.
|
a. Bentuk dan
Organisasi
|
:
|
Phylopolitik
|
b. Eksistensi
|
:
|
Biopolitik
|
NO.
|
TENTANG PEMERINTAHAN
|
KRATOPOLITIK
|
|
5.
|
a. Bentuk Negara
|
:
|
Homopolitik
|
b. Eksistensi
Negara
|
:
|
Prexipolitik
|
|
c. Kekuasaan Negara
|
Archopolitik
|
Dari sistematika
tentang politik negara tersebut di atas, maka Kjellen beranggapan
bahwa geopolitik hanya salah satu bagian saja. Kjellen menekankan
bahwa sebagai salah satu organisme hidup maka negara yang diciptakan oleh
Kjellen merupakan satu unit kekuatan dan kekuasaan yang selalu mengikuti hukum
pertumbuhan (ingat teori Lebensraum dari Retzel).
Model ini seakan-akan
“memahami” adanya perluasan wilayah melalui aneksasi, pendudukan maupun
kolonisasi yang sangat marak pada awal abad ke-20 itu.
Sejak awal Kjellen
sudah memperkirakan bahwa hukum pertumbuhan akhirnya akan membawa kita pada
satu keadaan dimana muncul beberapa negara besar saja yang mampu mempengaruhi
lainnya.
Jika hal ini dikaitkan
dengan jalur-jalur pelayaran niaga yang penting waktu itu, maka pertumbuhan
akan mengarahkan sepanjang jalur pelayaran tadi. Bila diamati peta-peta
dunia kala itu, maka dapatlah segera dilihat bahwa koloni-koloni Inggris selalu
berada pada tepian jalur pelayaran dunia.
Pertumbuhan melahirkan
rivalitas dan permusuhan antara negara-negara besar saat itu. Hal ini
tidak hanya menarik perhatian Kjellen akan tetapi juga Mackinder dari
Inggris. Mackinder melihat bahwa konflik saat itu (awal abad
ke-20) bukanlah sekadar konflik antar negara-negara maritim untuk menguasai
dunia. Atau dapat juga dikatakan sebagai konflik antara kekuatan
Euro-Asia (heartland) melawan kekuatan kepulauan dan pinggiran (pheripheral).
Mackinder berpendapat,
saat itu, bahwa kekuatan Heartland akhirnya akan lebih unggul dari
kekuatan Pheripheral mengingat keunggulannya di bidang politik, ekonomi dan
militer. Bahkan sebelum PD I meletus, Mackinder membuat kesimpulan geopolitik
sebagai berikut:
— Who rules East
Europe commands the Heartland,
— Who rules the
Heartland commands the World Island,
— Who rules the
World Island commands the World!
Yang
dimaksud dengan the World Island ialah Asia, Eropa dan Afrika yang dalam
pemikiran Mackinder merupakan satu continental patah. Melalui
pemikiran Kjellen dan Mackinder inilah geografi politik
diantarkan menjadi geopolitik.
POKOK
PEMBAHASAN VI
GeoPolitik
geopolitik merupakan pengembangan
dari geografi politik, dimana negara dipandang sebagai satu organisasi
hidup yang berevolusi secara spatial dalam kerangka memenuhi
kebutuhan masyarakat bangsanya atau tuntutan kebutuhan akan Lebensraum.
Ditangan para pemikir
Jerman saat itu, khususnya Haushofer, geopolitik berkembang dengan pesat
sebagai satu cabang ilmu pengetahuan dimana kekuasaan (politik) dan ruang
(raum) merupakan anasir sentralnya. Sehingga kemudian Haushofer menamakan
geopolitik sebagai satu science of the state yang mencakup
bidang-bidang politik, geografi (ruang), ekonomi, sosiologi, antropologi,
sejarah dan hukum dan pertama kali diuraikan dalam bukunya yang terkenal “Macht
und Erde” (kekuasaan/power dan dunia).
Kedekatan hubungan
antara Haushofer dengan Hitler sejak awal diperkirakan merupakan penyebab dari
menyusupnya info gagasan dalam Macht und Erde kedalam buku “Meinkampf”.
Tidakkah mengherankan apabila pada akhir perang dunia ke-2 geopolitik tidak
lagi dikagumi, karena dituduh sebagai biang keladi dari ekspansi Jerman.
Pengaruh Haushofer
juga terasa di Jepang karena dia pernah ditugaskan disana antara tahun
1909-1911 untuk mempelajari sistem militer Jepang serta mempererat hubungan
militer antara kedua negara. Sekembalinya di Jerman Haushofer menyusun
konsep Lebensraum untuk Jepang yang diterbitkan dalam bukunya yang berjudul
“Dai Nippon” (Greater Japan). Gagasan itu kemudian juga diperkirakan
menjadi landasan sari doktrin “Fukoku Kyohei” (Rich Country Strong Army) yang
melandasi dilakukannya pembangunan besar-besaran angkatan perang kekaisaran
Jepang menjelang perang dunia ke-2
Kalau dilihat dari
sudut pandang tataran pemikiran maka sesungguhnya Lebensraum maupun Fukoku
Kyohei merupakan satu prasyarat dalam upaya mencapai cita-cita
(baca Bab Pendahuluan) nasional. Jadi geopolitik adalah pada hakekatnya
prasyarat; dan karena harus dipenuhi secara nasional maka dapat juga disebut
sebagai doktrin dasar negara
Sebagai satu doktrin
dasar ia mengandungempat unsur utama yaitu:
1.
Konsepsi ruang, yang merupakan pengejawantahan dari pemikiran negara
sebagai organisasi hidup;
2. Konsepsi frontier, yang
merupakan konsekuensi dari kebutuhan dan lingkungan;
3. Politik kekuatan, yang
menerangkan tentang kehidupan negara;
4. Tentang keamanan negara dan
bangsa, yang kemudian melahirkan geostrategi.
·
Konsepsi ruang
Ruang merupakan inti
dari geopolitik, sebab menurut Haushofer dan pengikutnya ruang merupakan wadah
dinamika politik dan militer. Dengan demikian sesungguhnya geopolitik
merupakan cabang ilmu pengetahuannya yang mengaitkan ruang
dengan kekuatan fisik, dimana pada
kenyataannya kekuatan politik selalu menginginkan penguasaan ruang dalam arti
ruang pengaruh, atau sebaliknya, penguasaaan ruang secara de facto dan de jure
merupakan legitimasi dari kekuasaan politik. Penguasaan ruang atau ruang
pengaruh demikian itu pada intinya (menurut geopolitik) sesungguhnya merupakan satu
fenomena spatial dari ruang itu sendiri.
Jika ruang pengaruh
diperluas maka akan ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan; dan kerugian
akan menjadi lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang.
Pada era perang dingin
dapat kita saksikan bagaimana kedua kutub adi kuasa saling berusaha memperluas
“sphere of influence” maupun ruang hegemoninya masing-masing. Pada era
itu negara-negara Dunia Ketiga saling diperebutkan agar ditarik ke dalam sphere
of influence atau kedalam hegemoni, baik sebagai sekutu/allies ataupun sekadar
sahabat/friendly countries. Yang penting sekurang-kurangnya tidaklah
mesra dengan kubu lawan. Kita juga lihat bersama, disaat itu, tidak
peduli satu negara diperintah secara kejam atau tidak asalkan “setia”
kepada pemimpin kubunya.
Tidaklah mengherankan
apabila kepala pemerintahan semacam Mobutu dirangkul, yang kemudian hari saat
perang dingin selesai dicampakkan begitu saja atas tuduhan pelanggaran hak
azasi manusia. Maka berturut-turutlah beberapa kepala pemerintahan dinegara-negara
Dunia Ketiga berguguran silih berganti setelah “ruang” yang mereka “kuasai”
tidak lagi memiliki nilai strategi lagi.
Konsepsi strategi
Indonesia yang mengatakan bahwa “pendudukan terhadap satu pulau dapat dianggap
sebagai pendudukan seluruh negara” merupakan satu bukti lagi bahwa terdapat
satu hubungan erat antara ruang dengan kekuatan dan kepentingan. Kekuatan
disini diartikan sebagai kekuatan penangkalan yang harus siaga dalam menghadapi
kemungkinan, sekecil apapun, terjadinya pendudukan atas satu bagian kecil dari
negara ini.
Keteguhan dan
kesungguhan setiap negara atau bangsa mempertaruhkan setiap jengkal ruang yang
berada di dalam wilayah kedaulatannya merupakan satu bukti juga adanya kaitan
antara ruang dengan sifat negara sebagai organisme hidup. Dalam hal ini
berkurangnya ruang negara oleh sebab apapun juga memberi dampak psikologis pada
penduduk akan berkurangnya ruang “bernafas”.
Tidaklah mengherankan
apabila negara-negara kecil seperti Singapura atau Israel tidak dapat
mentolerir berkurangnya ruang negara; dan akan selalu bereaksi sangat keras
terhadap ancaman dari luar yang berpotensi untuk mampu mengurangi ruang negara
mereka. Untuk itu
negara-negara
semacam itu selalu mempersiapkan kekuatan militer yang tangguh dan mampu
melancarkan pre-emptive strike (bila perlu diluncurkan dari luar negaranya).
Bertambahnya ruang
negara atau berkurangnya ruang negara oleh berbagai jenis sebab, selalu
dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara dan bangsa. Karena itu
tidaklah mengherankan bahwa tiap negara mempertahankan kehormatan dan
kedaulatannya dengan gigih dan konsisten.
Bahkan negara sebesar
RRC harus berjuang mati-matian mempertahankan “haknya” atas pulau-pulau karang
kecil, yang walaupun tenggelam pada saat air pasang, di kawasan Laut Cina
Selatan. Sehingga bila disimak benar-benar konflik territorial di Laut
Cina Selatan sesungguhnya merupakan satu taruhan kehormatan dari negara-negara
yang bertikai; dan ini memang amat sulit dicari titik temunya.
Apa sebenarnya yang
amat mengherankan adalah keputusan Presiden Habibie yang begitu saja,
kemungkinan besar hanya dilandasi oleh emosi atau saran staf yang kurang
matang, memberikan dua opsi kepada rakyat Timor Timur. Dan setelah
ternyata rakyat Timor Timur memilih kemerdekaan, dengan entengnya pemerintahan
menerimanya sebagai satu kewajaran. Disini terlihat ketiadaan
pertimbangan akan datang kenyataan bahwa ruang negara, sekecil apapun, terkait
dengan kehormatan bangsa dan negara. Inilah satu contoh yang amat mengherankan
sekaligus menyedihkan.
Konsepsi ruang amat
bermakna apabila dikaitkan dengan penduduk atau suku bangsa yang
mendiaminya. Pada zaman dahulu ruang hidup (living space atau Lebensraum)
secara ideal harus dapat memenuhi atau mendukung kehidupan bangsa; karena itu
bila dirasakan tidak lagi bisa mendukung kehidupan maka ada kecenderungan untuk
“menambahnya” dan inilah awal dari peperangan. Namun dalam zaman modern
ini ruang hidup tidak harus berfungsi demikian; contohnya Singapura. Hampir
seluruh kebutuhan hidup rakyat Singapura “dibeli” dari luar, yang
kemudian dibayar dari produk jasa dan industri. Dengan demikian nilai
strategis ruang menjadi bermakna apabila dikaitkan dengan produktivitas
penduduk yang pada gilirannya terkait secara langsung dengan faktor karakter,
pengetahuan, ekonomi, industri dan sebagainya.
Apabila ahli
geopolitik Jerman, seperti misalnya Erich Obst, menekankan pentingnya luas
ruang bagi kehidupan satu bangsa (dan perkembangan dikemudian hari) maka Ray S.
Clime lebih berorientasi pada masa kritis dari ruang yang bersangkutan.
Masa kritis disini merupakan penjumlahan dari masa kritis penduduk, yaitu
jumlah riil penduduk yang produktivitasnya dapat diandalkan, ditambahkan dengan
masa kritis geografi ruang, yaitu luas riil dari ruang yang secara alami bisa
mendukung kehidupan rakyat dari segi produktivitasnya.
Ruang negara boleh
luas, seperti Australia, akan tetapi karena sebagian besar berupa gurun pasir
dan gurun tandus maka dari sudut pandang Cline masa kritisnya rendah. Atau
apabila disingkat akan didapat : Mk (ruang) = MK (d) + Mk (g).
Luas ruang negara
menjadi amat bermakna apabila dilihat dari segi strategis; sebab disitu akan
berlaku strategi menukar waktu dengan ruang, dimana makna harfiahnya adalah
tersedianya / disediakannya bagian ruang tertentu untuk diduduki sementara
oleh musuh, sementara itu kita mempersiapkan serangan balasan yang
mematikan. Ini hanya bisa dilakukan apabila ruang negara cukup luas.
Karena itu, apabila
ruang negara “sempit” maka hanya terbuka satu opsi yaitu : Pre-emptive Strike
atau serang sebelum musuh siap. Mengapa demikian, karena tidak adanya cukup
ruang untuk mempersiapkan dukungan logistik (ruang atau daerah belakang), untuk
digunakan persiapan tempur (ruang atau daerah komunikasi), dan digunakan untuk
manuver serta memukul musuh (ruang atau daerah tempur).
Juga apabila dilihat
dari segi strategi, luas ruang negara menentukan tingkatan rasa aman dari
penduduknya (security feeling); artinya bagaimana mereka sebagai satu bangsa
bereaksi dan menyikapi terhadap ancaman dari luar. Tidaklah mengherankan
apabila luas ruang dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan karakter satu
bangsa. Bahkan menurut Morgenthau karakter bangsa merupakan salah satu faktor
yang menentukan kekuatan dan ketahanan bangsa.
POKOK
PEMBAHASAN VII
GEOPOLITIK sebagai DOKRIN DASAR NEGARA
·
Konsepsi Frontier
Telah diuraikan dalam
bab terdahulu bahwa frontier merupakan batas imajiner dari pengaruh asing dari
seberang boundary (batas negara secara hukum) terhadap rakyat satu negara.
Ia sangat dinamis, dalam arti bisa bergeser-geser, dan berada di antara
masyarakat bangsa. Atau dengan perkataan lain, secara politis dapat dikatakan
bahwa pengaruh efektif dari pemerintah pusat tidak lagi mencakup seluruh
wilayah kedaulatan melainkan dikurangi dengan luas wilayah sampai dengan batas frontier
yang sudah dipengaruhi oleh kekuatan asing dari seberang boundary.
Pengaruh asing itu bisa berawal dari pengaruh budaya atau dari pengaruh
ekonomi, akan tetapi yang pasti adalah bahwa hal itu tidak ditangani dengan
segera oleh Pemerintah pusat maka akan berubah menjadi pengaruh politik yang
akan berujung pada pemisahan diri dari wilayah sebatas frontier.
Pengalaman membuktikan bahwa selama ini, sejak 1976, perbatasan antara
Timor-Timur dengan NTT adalah frontier bagi kita, sebab secara budaya kita
gagal menyerap masyarakat Timor Timur masih kedalam budaya NTT. Padahal mereka
merupakan satu suku bangsa. Contoh lain, adalah suku Kurdi yang telah membuat frontier di dalam negeri
Turki dan Irak. Dalam halnya Turki, pemerintah secara militer “membasmi” suku
Kurdi yang berada dalam frontier dengan maksud untuk menghilangkan sama
sekali adanya frontier di dalam negara Turki.
Adanya frontier memang mengurangi ruang efektif yang berada
dalam pengaruh pemerintah pusat, sehingga dampaknya hampir-hampir mirip dengan
kehilangan sejengkal tanah yang berada di bawah kedaulatan. Atas dasar itu
dapatlah difahami reaksi keras dari pemerintah Turki atas suku Kurdi karena
kehormatan dan kewibawaan negara dan bangsa Turki menjadi taruhannya. Dengan
demikian jelaslah bahwa masalah adanya frontier merupakan masalah
geopolitik yang menyangkut ruang.
Dalam zaman sekarang ini frontier
dapat juga terletak di luar batas negara dikaitkan dengan kepentingan
geopolitik yang memang harus menjangkau keluar wilayah kedaulatan. Globalisasi
telah membawa serta munculnya transparansi masyarakat bangsa dari pengaruh
luar, sedemikian rupa sehingga Ketahanan Nasional saja tidaklah cukup untuk
menjamin keamanan dan rasa aman bangsa dan negara apabila tidak ditopang oleh
keamanan regional.
Begitu juga kerjasama bilateral
saja tidak cukup kuat apabila tidak disertai dengan kerjasama regional
dan internasional. Adanya kaitan sevara sinergis berjenjang demikian itu
membawa implikasi bahwa geopolitik harus memiliki dimensi internasional. Karena
itu frontier dalam zaman sekarang ini harus pula diberi makna
batas imajiner sejauh mana kepentingan nasional terjamin pewujudannya atau
pemenuhannya.
Sesungguh hal semacam itu telah dimainkan oleh kekuatan-kekuatan besar
dunia sejak dahulu, hanya saja melalui wajah kekuatan militer. Dalam era perang
dingin ia berwajah hegemoni ataupun containment strategy. Akan tetapi
esensinya sama yaitu sphere of influence, yang batas luarnya merupakan frontier
dari negara besar yang menggelar sphere of influence tadi.
Apabila dahulu Sphere of influence selalu diciptakan dan
ditegakkan melalui mekanisme politik dan militer, dalam perkembangannya
sekarang ini ia dapat diciptakan melalui mekanisme ekonomi dan perdagangan.
Lihat saja sphere of influence dari yen Jepang yang kini hampir
meliputi kawasan Asia Pacific bagian Timur, setidak-tidaknya seluruh Asia
Tenggara berada di dalamnya.
Singkatnya, frontier akan
menjadi sphere of influence apabila ia terletak di luar batas
negara.Kenyataan sekarang telah memaksa negara-negara dalam satu sub-kawasan
bekerja sama untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat dengan cara meningkatkan
bargaining power.
Dalam perdagangan global bargaining power tidak selama berupa
kelebihan dalam murahnya satu produk, akan tetapi juga kelebihan dalam hanya conveniency
dan security dalam arti yang luas. Jelaslah hal ini akan lebih
menguntungkan apabila ditawarkan oleh kerjasama regional, karena conveniency
maupun security akan lebih terjamin.
Oleh sebab itu, frontier yang terbentuk melalui kerjasama
regional sesungguhnya merupakan satu frontier politik; dan apabila
kerjasama regional terbentuk atas dasar kesamaan budaya atau agama maka
dinamakan frontier budaya.
Mengingat negara dapat dianggap sebagai satu organisme hidup, maka frontier
semacam di atas dinamakan frontier organik yaitu bahwa adanya atau
terbentuknya karena kebutuhan organisme yang bernama negara.
POKOK
PEMBAHASAN VIII
GEOPOLITIK sebagai DOKRIN DASAR NEGARA
·
Konsepsi Politik Kekuatan (Power)
Politik kekuatan
merupakan salah satu faktor dalam geopolitik karena adanya kenyataan bahwa
dinamika organisme negara di dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya maupun di
dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa selalu dilandasi oleh kekuatan
politik dan atau ekonomi, dan atau militer, atau salah dua, bahkan
ketiga-tiganya secara paralel.
Jepang saat ini
memainkan geopolitiknya dilandasi oleh kekuatan ekonomi dan sedikit faktor
politik. Negara-negara besar Eropa melandasinya dengan politik dan ekonomi;
sedangkan Amerika Serikat dengan ketiga-tiganya.
Semakin “menciutnya”
ruang dunia sebagai akibat perkembangan teknologi, terutama teknologi
telekomunikasi dan transportasi, disatu pihak sedangkan kepentingan
negara-negara di dunia, terutama negara-negara besar, semakin mendunia maka
semakin besar pula kemungkinannya terjadi persinggungan ataupun konflik
kepentingan di berbagai tempat di dunia.
Disini nampak bahwa
konflik terbuka atau perang pada dasarnya merupakan dinamika ruang dan
kekuatan. Tidaklah mengherankan apabila Kjellen menyimpulkan bahwa negara besar
dengan kekuatan besar selalu cenderung ekspansif secara spasial. Kalau toh
sekarang ini Amerika Serikat terkesan malang-melintang sebagai polisi dunia
hanyalah disebabkan oleh anggapannya secara unilateral.
Contoh kasus: Jepang saat ini memainkan geopolitiknya dilandasi oleh kekuatan ekonomi
dan sedikit faktor politik. Negara-negara besar Eropa melandasinya dengan
politik dan ekonomi; sedangkan Amerika Serikat dengan ketiga-tiganya.
bahwa ruang kepentingannya
adalah dunia dan didukung oleh kekuatan nyata (baik ekonomi,politik, dan
militer) yang mampu digelar setiap saat. Oleh sebab itu pameran kekuatan darat,
laut dan udara adalah salah satu alat geopolitik di dalam pembentukan frontier.
Terasa menciutnya
ruang dunia juga diikuti pula dengan meluasnya hak berdaulat bagi negara-negara
pantai sebagai akibat diakuinya ZEE di dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Sebagai
akibatnya management laut menjadi semakin rumit, terutama bagi negara kepulauan
seperti Indonesia, disebabkan kepentingan negara-negara maritim “dibatasi”
dengan berkurangnya freedom of navigation.
Padahal freedom of
navigation bagi negara-negara besar merupakan satu hal yang dikeramatkan
sejajar dengan hak azasi manusia dan demokrasi; maka tidaklah mengherankan
makin seringnya terjadi tabrakan kepentingan.
Tabrakan kepentingan
akan menjadi tidak berimbang apabila kekuatan nyata tidak berimbang, seperti
antara Indonesia dan Amerika Serikat. Kita mengetahui bahwa freedom of
navigation bagi negara-negara besar sangat berkait dengan projection of power
dan pembentukan sphere of influence, karena itu tidaklah mengherankan bagaimana
mereka menyikapi keinginan Indonesia dalam penetapan archipelagie sea lanes.
Pembicaraan dengan negara-negara besar memang
telah dilakukan sebelum rancangan archipelagic sealanes diserahkan kepada
International Maritime Organization (IMO) dan telah disetujui pada bulan
Desember 1998.
Untuk mewujudkan kepentingan nasional
diperlukan kekuatan, yang pada gilirannya kekuatan memerlukan ruang gerak baik
itu berupa ruang geografis maupun ruang politis. Misalkan saja kepentingan itu
berupa peningkatan kegiatan perekonomian, maka kepada para pelaku pasar harus
diberikan ruang gerak yang cukup agar lebih kompetitif dan produktif. Ruang
gerak yang cukup, artinya demokratisasi, agar kegiatan ekonomi bisa berkembang
bebas diseluruh ruang negara.
Keperluan adanya demokratisasi ekonomi (tidak
sekedar Liberalisasi saja) memerlukan dukungan demokratisasi politik agar tidak
terjadi stagnasi. Dahulu, ketika Uni Sovyet mengadakan demokratisasi
politik secara luas yang tidak disertai dengan hal yang sama dibidang ekonomi
maka negara tersebut berantakan.
Hal yang sama juga terjadi pada Rusia
sekarang. Lain halnya dengan RRC, dimana demokratisasi ekonomi jauh
meninggalkan demokratisasi politik maka ternyata mengakibatkan terjadinya
hal-hal yang tidak dikehendaki, antara lain peristiwa Tienanmen.
Pelajaran yang dapat
ditarik adalah bahwa perluasan ruang gerak harus dilaksanakan secara serentak
pada semua bidang, agar mereka bisa saling menunjang.
Saat ini telah muncul
dua gejala makro dipandang dari segi strategi yaitu bahwa dimensi ekonomi dari
kekuatan telah semakin mengemuka, dan adanya pergeseran gravitasi kepentingan
ke arah maritim. Kedua-duanya memiliki implikasi yang amat penting terhadap
geopolitik, terutama bagi negara-negara maritim seperti Indonesia.
Semakin mengemukanya dimensi
ekonomi dari kekuatan menyebabkan antara lain : (a) faktor ekonomi telah
dijadikan “senjata” untuk memaksakan kehendak, (b) munculnya Lembaga Keuangan
Internasional sebagai kekuatan politik global; dan (c) berkembangnya
regionalisme ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan posisi power.
Dilain pihak dengan adanya perdagangan yang
mendunia, dimana setiap pasar domestik terkait satu sama lain; maka soal akses
menjadi penting, baik akses terhadap pasar maupun akses terhadap sumber-sumber
input bagi industri.
Sebagai konsekuensinya
jalur-jalur pelayaran internasional (sea lines of communication/SLOC) menjadi
amat vital. Karena itulah kepentingan bergeser kearah maritim; siapa
menguasai SLOC akan dapat menentukan pasar atau sebaliknya gangguan keamanan
terhadap SLOC akan mempengaruhi keadaan pasar.
Tidaklah mengherankan
apabila freedom of navigation dan terjaminnya keamanan sepanjang SLOC sehingga
komoditi perdagangan mengalir secara lancar adalah pusat gravitasi kepentingan
saat ini. Dapatlah dimengerti bahwa dipandang dari sisi ini Indonesia
adalah amat rawan karena SLOC vital antara Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik semuanya melewati perairan Indonesia.
Tiap perkembangan
politik dan keamanan di Indonesia serta merta menjadi perhatian negara-negara
besar hanya karena SLOC itu. Bahkan setiap pergantian pemerintah atau
pemilihan presiden-presiden mengundang berbagai bentuk intervensi.
·
Konsepsi Keamanan Negara dan Bangsa
Pada akhirnya geopolitik juga ditujukan untuk
menciptakan keamanan negara dan bangsa. Dari adanya kenyataan bahwa ketahanan
nasional saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dalam negeri maka kemudian
diputuskan menggelar frontier diluar batas negeri. Dari situ terwujudlah daerah
penyangga (buffer zone) yang digunakan untuk memperluas ruang yang dapat
ditukar dengan waktu dalam menghadapi ancaman fisik dari luar.
Jika selama ini ruang
diartikan sebagai sesuatu yang riil secara geografi, maka sesungguhnya ruang
bisa diartikan secara semu
atau maya dari segi keamanan yaitu antara lain berbentuk semangat kesatuan dan
atau semangat persatuan. Maknanya adalah bahwa kesatuan dan atau
persatuan merupakan penghambat atau memperlambat datangnya ancaman/musuh
sehingga seakan-akan dipertukarkan dengan waktu.
Kesatuan dan atau
persatuan yang dianjurkan oleh pemerintah bukanlah satu retorika politik akan
tetapi merupakan langkah geopolitik. Dengan lain perkataan apabila satu
negara kehilangan kesatuan dan atau persatuan bangsa maka dampaknya akan sama
dengan kehilangan ruang.
Era kolonialisme
dengan kekuatan senjata telah berlalu akan tetapi politik dan strategi kolonial
dalam bentuk devide-et-impera masih tetap dijalankan oleh kekuatan -kekuatan
besar dunia saat ini dengan cara merontokkan persatuan dari dalam. Atau bahkan
membuyarkan kesatuan dengan taktik balkanisasi di dukung oleh lembaga-lembaga
internasional yang dimobilisir.
Sehingga apabila
keadaan dunia dipotret dengan kacamata negara berkembang, maka keadaan dunia
semuanya telah berubah karena kemajuan teknologi akan tetapi hanya satu
yang tetap yaitu politik devide-et-impera negara-negara besar.
Membangun keamanan
negara dan bangsa melalui upaya peningkatan dan pemantapan ketahanan nasional
adalah langkah geopolitik, dimana hasilnya berupa ruang semu/maya yang semakin
“luas” dalam bentuk kesatuan dan atau persatuan. Karena itulah konsepsi
keamanan dan pengamanan negara dan bangsa menjadi bahagian dari geopolitik.