JANGAN PERNAH KAU SIA-SIA KAN SEBUAH PERSAHABATAN

Selasa, 30 Oktober 2012

heriyanto Geografi Politik



heriyanto
Geografi Politik

POKOK PEMBAHASAN I
Pengertian geografi politik:
·         Geografi Politik
Geografi Politik adalah ilmu yang mempelajari relasi antara kehidupan dan aktivitas politik dengan kondisi-kondisi alam suatu Negara. Aspek-aspek yang terdapat dalam Geografi Politik dan Geografi itu sendiri antara lain unsur geografis berupa luas, bentuk wilayah, iklim, sumber daya dan penduduk.
a.   Menurut Taylor 2000:783 :
Geografi Politik (political geography) yang menekankan bahwa teritorial ditafsirkan sebagai hubungan mendasar antara kedaulatan negara dengan tanah air nasional yang terletak di jantung legitimasi dan praktik negara modern. Dimana hasilnya adalah analisis-analisis atas wilayah, kekuasaan dengan ruang yang terfokus yang berpusat pada negara (http://baehaqiarif.files.wordpress.com/2009/12/geografi.pdf)
b.  Menurut Friederich Ratzel :
Geografi Politik menekankan kepada hubungan antara faktor fisis geografis dengan ras – ras di masing – masing negeri dan bentuk pemerintahannya ditentukan oleh alam. Paham Fisis Determinis. (Hayati, Sri & Yani, Ahmad. 2007. Geografi Politik. Bandung: PT Refika Aditama).
c.   Menurut Otto Maul :
Geografi Politik adalah ajaran mengenai bentang alam sebagai ruang hidup politik dimana kehidupan negara berlangsung.(Hermawan, Iwan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung: Private Publishing
Geo Politik
a.   Menurut Richard Hennig :
GeoPolitik merupakan ajaran tentang kekuatan – kekuatan politik di dalam keterkaitan kepada bumi dan penerapannya dimasa mendatang sehubungan dari hasil yang didapat dari studi yang dilakukan oleh Geografi Politik.(Hermawan, Iwan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung: Private Publishing).
Persamaan dan Perbedaan keduanya :
a.   Persamaan :
1.     Geografi Politik dan Geopolitik sama mengkaji tata ruang di Bumi pada suatu Negara.(http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/11/01/geopolitik/).
2.    sebagai dasar perkembangan suatu negara dan hubungan kenegaraan (http://imsyafii.wordpress.com/2008/04/13/geografi-lingkungan-dalam-ruang-lingkup-geografi/ ).
b.  Perbedaan :
1.     Richard Hennig, seorang profesor di Berlin berpendapat, sesungguhnya yang dipelajari oleh Geografi Politik adalah bentang alam di mana kehidupan negara berlangsung, namun ilmu tersebut adalah statis. Sehingga, menurutnya harus ada ilmu tentang bentang alam yang sifatnya dinamis, yaitu Geopolitik. (Hermawan, Iwan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung: Private Publishing).
2.    Preston E. James, GeoPolitik lebih merujuk kepada suatu organisme yang semakin berkembang. Artinya luas suatu negara dapat berkembang dengan kekuatan suatu negara, dan sebaliknya apabila kekuatan politk suatu negara tersebut lemah maka akan mudah direbut teritorinya oleh negara lain. Sedangkan  Geografi Politik hanya menekankan kepada studi bentang alam. (http://fajargm.net/geopolitik-indonesia).
POKOK PEMBAHASAN II
GEOGRAFI POLITIK DAN GEOPOLITIK
Geo-politik pada dasarnya merupakan cabang ilmu pengetahuan yang relatif baru, dimana pada awalnya dicurigai sebagai satu “ilmu” yang memberikan pembenaran pada konsepsi Liebensraum (ruang hidup) di era Hitler, sehingga menimbulkan semacam “kecurigaan” akan kemanfaatannya secara ilmiah.
Lepas dari hal itu, satu hal yang sudah pasti yaitu bahwa para pakar dibidang ilmu politik berpendapat bahwa geografi politik merupakan cabang ilmu pengetahuan yang melandasi lahirnya geo-politik
Jika politik diartikan sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik (nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dengan pendistribusian tersebut di atas. 
Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga pendistribusian itu harus “ditebarkan” pada hamparan geografi yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen di seluruh wilayah negara. 
Inilah cirinya yang ditengarai sebagai sebab mengapa efek dan efektivitas pendistribusian itu terhadap masyarakat juga tidaklah homogen sifatnya, yang disebabkan oleh dampak dan intensitas pendistribusian yang bervariasi di seluruh wilayah negara
Jika politik diartikan sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik (nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dengan pendistribusian tersebut di atas. 
Hal ini disebabkan karena bagaimanapun pendistribusian itu harus “ditebarkan” pada hamparan geografi yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen di seluruh wilayah negara.  Inilah cirinya yang ditengarai sebagai sebab mengapa efek dan efektivitas pendistribusian itu terhadap masyarakat juga tidaklah homogen sifatnya, yang disebabkan oleh dampak dan intensitas pendistribusian yang bervariasi di seluruh wilayah negara
Karena adanya perbedaan cara pandang terhadap “penebaran” yang dimaksud di atas serta dampaknya terhadap masyarakat, maka terdapat perbedaan dalam cara mendefinisikan geografi politik. Ada yang melihat dari sudut pandang geografer sehingga geopolitik dianggap sebagai dampak geografi atas proses politik.
Sebaliknya ada yang melihat dari kaca mata ahli politik sehingga mendefinisikan geografi politik sebagai kajian tentang  interaksi dinamis proses politik dengan morfologi negara, misalnya saja dalam landreform.  Sedangkan sebaliknya pengaruh morfologi negara atas dinamika politik misalnya saja terlihat dalam pembagian pemerintahan daerah maupun dalam penentuan daerah pemilihan pada setiap pemilu.
Antara kedua sudut pandang tadi ada kesamaannya yaitu mempelajari distribusi spasial serta interaksi yang terjadi sepanjang jalur spasial tadi.  Sudah barang tentu pengertian jalur spesial telah mencakup aspek morfologi negara alias konfigurasi geografi  negara. 
Selanjutnya, apabila proses politik dianggap sebagai proses interaksi, maka dapat dibayangkan bahwa secara morfologis proses politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai proses interaksi, maka dapatlah dibayangkan bahwa secara morfologis proses politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai satu medan politik (medan interaksi politik).  Sehingga akhirnya dapat didefinisikan geografi politik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi spasial berbagai kekuatan atau kepentingan dalam medan politik nasional.
Tentang interaksi spasial ini kita dapat melihat pada fenomena alam yang berupa medan magnit bumi.  Menurut ilmu fisika, medan magnit bumi secara plastis dapat dibayangkan terdiri dari rumpun garis gaya magnit yang secara spasial terdistribusi dari kutub utara magnit bumi menuju ke arah kutub selatan magnit bumi.  Dalam “perjalanan” sepanjang jalur spasial tiap garisnya dipengaruhi benda-benda atau kandungan-kandungan mineral yang ada dipermukaan atau di bawah permukaan bumi sehingga dampaknya merupakan terbeloknya jalur atau menjadi lemahnya garis gaya magnit bumi. 
Dengan mempelajari “hambatan” terhadap garis gaya magnit sepanjang jalur utara-selatan dapat diketahui adanya kandungan mineral di darat atau adanya kapal selam di bawah permukaan laut.  Gejala demikian ini dinamakan anomali magnetik, yang dapat dideteksi dengan menggunakan detektor khusus MAD (?).
Sungguhpun disadari bahwa analogi medan politik dengan medan magnit tidak terlalu pas, akan tetapi ia merupakan pijakan yang memadai dalam rangka pemahaman distribusi spasial dari kekuatan (politik) maupun kekuatan medan magnit pada ruang negara.
Setelah diperoleh gambaran tentang adanya interaksi antara medan politik dengan morfologi negara maka para pemikir geo-politik berkesimpulan bahwa untuk mencapai tujuan nasional (politik) haruslah diperhatikan kenyataan-kenyataan geografis atau geo-morfologi negara agar dimungkinkan penyesuaian-penyesuaian tertentu sehingga pencapaian itu optimal melalui strategi yang khas sesuai dengan geo-morfologi yang ada. 
Strategi semacam itu disebut geo-strategi.  Di kalangan ASEAN ditengarai adanya perbedaan geo-strategi antara negara-negara anggota yang berciri maritim (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina) dengan negara yang berciri kontinental.  Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan geopolitik maritim dengan geopolitik kontinental.  Dari pengalaman ASEAN ini dapatlah dimengerti bahwa geopolitik mengalir dari geografi politik.
POKOK PEMBAHASAN III
PEMIKIRAN DALAM GEOGRAFI POLITIK.
Pemikiran Kontinental
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama transportasi dan komunikasi, telah mendorong munculnya kesadaran akan adanya keterkaitan antara geografi dan dinamika politik dunia.  Kesadaran tersebut ditangkap oleh Friedrich Ratzel dan dirumuskan dalam bentuk Antropho-geografi  yang pada intinya mengulas sintesa antara antropologi, geografi dan politik. 
Tujuannya adalah mempelajari manusia, masyarakat, negara dan dunia sebagai organisme hidup.  Demikian juga  Ratzel secara berulang-ulang dalam karyanya menekankan bahwa pada akhirnya antropho-geografi harus memusatkan pandangan dan kajiannya pada sisi organisme-nya, dan inilah sesungguhnya awal dari bibit pemikiran mengenai geopolitik
Pengaruh pemikiran organismik dari Ratzel terlihat pada pengembangan geografi politik, dimana hubungan timbal-balik antara manusia dengan alam sekitarnya lebih ditonjolkan.  Ini berarti bahwa tidak hanya geo-morfologi dan iklim saja yang mempengaruhi manusia akan tetapi juga jenis tanah, budaya setempat dan luas tanah atau faktor ruang (Raumfactor). 
Tidaklah mengherankan apabila dinamika manusia dan produktivitasnya juga dikaitkan dengan ketersediaan ruang hidup atau Lebensraum.  Hubungan inilah yang kemudian dieksploitir oleh Haushofen bahwa peningkatan tuntutan hidup dan kebutuhan pengembangan tata kehidupan memerlukan perluasan dari Lebensraum yang sudah ada.
Lebih jauh Karl Ritter dan Ratzel secara terpisah mengidentifikasikan bahwa tabiat, ambisi dan bahkan budaya manusia dibentuk oleh alam sekitarnya serta menyimpulkan adanya keterkaitan anatara iklim dan budaya.  Itulah sebabnya Ritter kemudian mengkaitkan Zona Iklim dunia dengan Zona Budaya
Penelitian lebih lanjut tentang kaitan antara manusia dengan alam sekitarnya menuntun Ratzel pada kesimpulan bahwa ruang atau Raum merupakan satu faktor penting dalam perjuangan manusia dalam memenuhi kebutuhan.  Atas dasar logika ini disimpulkan bahwa bangsa yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi memiliki validitas klaim yang lebih untuk mendapat ruang tambahan.
Dipandang dari kondisi politik dunia saat itu, kesimpulan Ratzel ini amat berbahaya, karena dapat dijadikan pendorong bahkan legitimasi terhadap kolonialisme dan ekspansionisme.  Lebih tajam lagi adalah kesimpulannya bahwa luas wilayah satu negara merupakan indikator terbaik dari kekuatan politiknya (political power).
Apabila kesimpulan ini dikaitkan dengan rumusan Cline mengenai kekuatan nasional satu bangsa bila dilihat/diamati dari luar, memang berbanding lurus, antara lain dengan critical mass dari negara bersangkutan dimana critical mass itu sendiri adalah gabungan dari critical mass penduduk serta critical mass ruang negara. (Uraian lebih detail periksa buku Sunardi, R.M.   “Teori Ketahanan Nasional”, Lemhannas, 1999).
Menurut Cline, Australia tidak memiliki critical mass yang besar sebab sebagian besar ruang negaranya tidak produktif dan ditambah lagi penduduk hanya “kecil” (± 18 juta) walaupun kualitasnya sangat tinggi dan maju.  Demikian pula halnya dengan Singapura.  Kedua negara ini sudah barang tentu berbeda dengan negara seperti RRC yang memiliki critical mass besar; dan oleh karena itu berpotensi menjadi negara besar.
Setiap bangsa yang menegara, menurut Ratzel, haruslah memiliki konsep ruang; apabila tidak, bangsa bersangkutan akan terdesak menjadi bangsa marginal dalam perpolitikan global.  Kesimpulan semacam ini memang terasa valid pada era sebelum Perang Dunia II, dimana hampir tiap kawasan dunia, terutama di Eropa, persaingan untuk mendapatkan Power Position utama tidak jarang menimbulkan konflik terbuka.  Sesudah Perang Dunia II, terutama sesudah perang dingin berakhir hampir tiap kawasan cenderung membentuk regional grouping
Maraknya regionalisme telah mengakhiri tidak hanya perlombaan power position saja, akan tetapi juga surutnya supremasi politik dan militer sebagai faktor utama penentu kekuatan nasional satu bangsa, yang kedudukannya digeser oleh faktor ekonomi
Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/antarbangsa, karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka.  Sungguhpun demikian penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi internasional, akan tetapi latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary tadi, dan akhirnya bertabrakan dengan negara lain. 
Kasus konflik teritorial diantara negara-negara berkembang adalah contoh yang amat sangat nyata, sebab boundary yang ditetapkan oleh penguasa kolonial tidaklah sejalan dengan sejarah bangsa dan dengan aspirasi politik dari bangsa yang telah menjadi merdeka.
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa boundary tidak selamanya ditaati oleh penduduk perbatasan (terutama didaerah terpencil) yang dengan seenaknya mengadakan lintas batas untuk mengunjungi sanak-keluarga di seberang boundary, atau saling berdagang secara bebas seolah-olah tidak ada boundary.  Interaksi dinamis antar penduduk dua negara, atau interaksi dinamis antara dua budaya dapat membentuk satu batas semu atau frontier yang berbeda letaknya secara geografisnya dengan boundary aslinya
terbentuknya frontier di dalam ruang negara yang disebabkan oleh penetrasi pengaruh seberang boundary. Apa yang terjadi adalah daerah asimilasi dimana penduduknya lebih “melirik” keseberang boundary dibandingkan kepada pemerintah daerah atau pusatnya sendiri. 
Berbagai kasus yang ada di dunia ini, frontier terbentuk karena dua hal, yaitu, pertama, tidak cukup perhatian pemerintah pada daerah yang menjadi daerah asimilasi; kedua, tidak ada sarana sirkulasi yang cukup.
Untuk sebab yang kedua, kelengkapan sarana sirkulasi (transportasi dan komunikasi) biasanya terjadi di daerah yang sukar dicapai atau daerah terpencil seperti daerah pengunungan, daerah hutan rimba, pulau terpencil, yang kesemuanya berada di daerah sepanjang perbatasan dengan negara lain sehingga mudah terkena penetrasi budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.  Semakin lama daerah asimilasi tidak ditangani atau diperhatikan oleh pemerintah maka ia bisa menjadi makin meluas; oleh karena itu frontier sifatnya sangat dinamis.
Dilihat dari sisi politik, rakyat di daerah asilmilasi memiliki kecenderungan untuk membelakangi pemerintah/sistem politik di negaranya dan tidak jarang bermuara pada keinginan merdeka.  Banyak masyarakat pengunungan yang mengalami hal seperti itu dan ingin merdeka, misalnya suku Kurdi, suku Karem, suku Meo, dan bahkan sebagian masyarakat Propinsi Xinjiang di RRC. 
Kesemua masyarakat itu tinggal di wilayah pengunungan yang sukar dicapai.  Tidak itu saja, bagi negara yang wilayahnya luas sekali daerah frontier bisa terjadi dipinggiran yang jauh dari pusat pemerintahan.  Untuk itu disentralisasi adalah jalan pemecahan yang terbaik.  Dari sini terlihat dengan jelas kaitan atau interaksi antara geografi dan politik.
POKOK PEMBAHASAN IV
PEMIKIRAN DALAM GEOGRAFI POLITIK
Pemikiran Maritim
Perbedaan dengan para ahli geografi politik Jerman, seperti Ratzel, Ritter dan sebagainya yang berorientasi kontinental, Alfred Thayer Mahan merupakan pelopor orientasi maritim.  Menurutnya kekuatan satu negara tidak hanya tergantung pada faktor luas wilayah daratan dan seisinya, akan tetapi tergantung pula pada faktor luasnya akses ke laut berikut bentuk pantai dari wilayah negara.
Akses ke laut akan memudahkan perdagangan yang pada ujungnya membawa kesejahteraan dan penguasaan perekonomian; sedangkan bentuk pantai yang menguntungkan akan menarik masyarakat lebih berorientasi ke arah laut.  Tidaklah mengherankan apabila perhatian Mahan pertama-tama ditujukan ke Laut Tengah yang selalu menjadi ajang perebutan dan peperangan laut pada abad ke 16, 17 dan 18.  Bentuk pantai kawasan pinggiran Laut Tengah membuat masyarakatnya berorientasi pada laut dan perdagangan.
Dalam pengamatan Mahan, negara-negara tepian Atlantik selain memiliki akses ke laut secara luas, bentuk pantainya pun memudahkan pengembangan pelabuhan-pelabuhan besar sehingga akan terbentuk satu masyarakat maritim yang kosmopolitan.  Selain itu, Mahan juga berkesimpulan bahwa bentuk dan panjang pantai satu negara akan menjadi salah satu indikator utama kekuatan laut (sea power) dari negara yang bersangkutan.
Observasi dan kesimpulan demikian ini sering disebut sebagai satu geographical determinist - bahwa geografi menentukan tata laku dan karya manusia.  Di sinilah kiranya Mahan, Ratzel, Ritter dan kawan-kawannya pada era itu dapat dikatakan sama-sama merupakan geographical determinist.  Bedanya adalah bahwa Ratzel dan Ritter menengok ke darat dalam pengembangan kekuatan (power) satu negara, sedangkan Mahan menengok ke laut.
 Menurut Mahan ada empat faktor alamiah yang mempengaruhi pembentukan kekuatan laut satu negara. Pertama, situasi geografi, terutama mengenai Topo-morfologinya yang dikaitkan dengan ada tidaknya akses ke laut serta penyebaran penduduknya. Kedua, kekayaan alam dan zona iklim, karena faktor ini akan terkait dengan kemampuan industri serta kemandirian dalam penyediaan pangan. Ketiga, konfigurasi wilayah negara, yang menurut Mahan akan mempengaruhi karakter rakyat terutama dilihat dari orientasinya. Keempat, jumlah penduduk.
Dari keempat faktor tersebut di atas dapat dicatat bahwa Mahan menaruh perhatian pada konfigurasi wilayah negara serta pengaruhnya pada karakter rakyat.  Pengalaman dan sejarah umat manusia cukup mendukung hal tersebut, misalnya karakter orang yang tinggal di pengunungan akan berbeda dengan mereka yang tinggal di dataran rendah.  Demikian juga karakter rakyat kepulauan berbeda dengan rakyat yang tinggal di kontinen.
Temuan Mahan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ratzel yang mengatakan bahwa agar negara menjadi kuat, maka harus memiliki akses ke laut serta wilayah daratan yang luas.  Dari kesimpulan ini maka para ahli Jerman pada abad ke-20 mulai memikirkan perluasan wilayah negara Jerman ke arah timur dengan istilah Drang nach Osten.
POKOK PEMBAHASAN V
Dari Geografi Politik ke Geopolitik
Sampai dengan akhir abad ke-19, pemikiran geografi politik didominasi oleh teori Ratzel, Ritter dan Mahan yang menganggap negara sebagi organisme serta pengaruh alam terhadap tata laku manusia atau geographical determinist.
Pada awal abad ke-20 muncul pemikiran dari para ahli Perancis seperti Albert Demangeon, Louis Febure, Andre Siegfried dan Jacques Ancel, yang beranggapan bahwa negara sebagai satu organisme hidup memiliki moral dan spritual sehingga tidak dapat dipandang sebagai satu ruang (space) yang hampa.  Adanya nasionalisme, rasa kebangsaan, faham kebangsaan, cinta tanah air membuktikan negara bukan sekadar ruang kosong.  Pemikiran demikian ini disebut geographical humanist.
Berdasarkan pada pemikiran para ahli Jerman dan para ahli Perancis maka Rudolf Kjellen berkesimpulan bahwa geo-morfologi haruslah dimanfaatkan dari segi politik, maka lahirlah the politics of geography yang kemudian diberi nama oleh Kjellen sebagai geopolitik.  Secara umum Kjellen memberi definisi geopolitik sebagai satu Science of the state
Menurut Kjellen sistem politik tentang negara (sistem geopolitik) adalah:
No.
TENTANG NEGARA

GEOPOLITIK
1.
a. Kedudukan Negara    
:
Topopolitik

b. Bentuk Negara
:
Morphopolitik

c. Keadaan Fisik Negara
:
Physiopolitik
NO.
TENTANG EKONOMI

EKOPOLITIK
2.
a. Pengaruh ekonomi    
:
Emporo Politik

b. Kemandirian
:
Autharkhial Politik

c. Dinamika ekonomi
:
Ekonopolitik
NO.
TENTANG RAKYAT

DEMOPOLITIK
3.
a. Kebangsaan    
:
Etnopolitik

b. Sejarah dan asal-usul
:
Plethopolitik

c. Psyche Bangsa
:
Psychopolitik
NO.
TENTANG MASYARAKAT BANGSA

SOSIOPOLITIK
4.
a. Bentuk dan Organisasi
:
Phylopolitik

b. Eksistensi
:
Biopolitik
NO.
TENTANG PEMERINTAHAN

KRATOPOLITIK
5.
a. Bentuk  Negara    
:
Homopolitik

b. Eksistensi Negara
:
Prexipolitik

c. Kekuasaan Negara

Archopolitik
Dari sistematika tentang politik negara tersebut di atas, maka Kjellen beranggapan bahwa geopolitik hanya salah satu bagian saja.  Kjellen menekankan bahwa sebagai salah satu organisme hidup maka negara yang diciptakan oleh Kjellen merupakan satu unit kekuatan dan kekuasaan yang selalu mengikuti hukum pertumbuhan (ingat teori Lebensraum dari Retzel).
Model ini seakan-akan “memahami” adanya perluasan wilayah melalui aneksasi, pendudukan maupun kolonisasi yang sangat marak pada awal abad ke-20 itu.
Sejak awal Kjellen sudah memperkirakan bahwa hukum pertumbuhan akhirnya akan membawa kita pada satu keadaan dimana muncul beberapa negara besar saja yang mampu mempengaruhi lainnya. 
Jika hal ini dikaitkan dengan jalur-jalur pelayaran niaga yang penting waktu itu, maka pertumbuhan akan mengarahkan sepanjang jalur pelayaran tadi.  Bila diamati peta-peta dunia kala itu, maka dapatlah segera dilihat bahwa koloni-koloni Inggris selalu berada pada tepian jalur pelayaran dunia.
Pertumbuhan melahirkan rivalitas dan permusuhan antara negara-negara besar saat itu.  Hal ini tidak hanya menarik perhatian Kjellen akan tetapi juga Mackinder dari Inggris.  Mackinder melihat bahwa konflik saat itu (awal abad ke-20) bukanlah sekadar konflik antar negara-negara maritim untuk menguasai dunia.  Atau dapat juga dikatakan sebagai konflik antara kekuatan Euro-Asia (heartland) melawan kekuatan kepulauan dan pinggiran (pheripheral).
Mackinder berpendapat, saat itu, bahwa kekuatan Heartland akhirnya akan lebih unggul dari kekuatan Pheripheral mengingat keunggulannya di bidang politik, ekonomi dan militer. Bahkan sebelum PD I meletus, Mackinder membuat kesimpulan geopolitik sebagai berikut:
  Who rules East Europe commands the Heartland,
  Who rules the Heartland commands the World Island,
  Who rules the World Island commands the World!
Yang dimaksud dengan the World Island ialah Asia, Eropa dan Afrika yang dalam pemikiran Mackinder merupakan satu continental patah.  Melalui pemikiran Kjellen dan Mackinder inilah geografi politik diantarkan menjadi geopolitik.
POKOK PEMBAHASAN VI
GeoPolitik
geopolitik merupakan pengembangan dari geografi politik, dimana negara dipandang sebagai satu organisasi hidup yang berevolusi secara spatial dalam kerangka memenuhi kebutuhan masyarakat bangsanya atau tuntutan kebutuhan akan Lebensraum.
Ditangan para pemikir Jerman saat itu, khususnya Haushofer, geopolitik berkembang dengan pesat sebagai satu cabang ilmu pengetahuan dimana kekuasaan (politik) dan ruang (raum) merupakan anasir sentralnya.  Sehingga kemudian Haushofer menamakan geopolitik sebagai satu science of the state yang mencakup bidang-bidang politik, geografi (ruang), ekonomi, sosiologi, antropologi, sejarah dan hukum dan pertama kali diuraikan dalam bukunya yang terkenal “Macht und Erde” (kekuasaan/power dan dunia).
Kedekatan hubungan antara Haushofer dengan Hitler sejak awal diperkirakan merupakan penyebab dari menyusupnya info gagasan dalam Macht und Erde kedalam buku “Meinkampf”.  Tidakkah mengherankan apabila pada akhir perang dunia ke-2 geopolitik tidak lagi dikagumi, karena dituduh sebagai biang keladi dari ekspansi Jerman.
Pengaruh Haushofer juga terasa di Jepang karena dia pernah ditugaskan disana antara tahun 1909-1911 untuk mempelajari sistem militer Jepang serta mempererat hubungan militer antara kedua negara.  Sekembalinya di Jerman Haushofer menyusun konsep Lebensraum untuk Jepang yang diterbitkan dalam bukunya yang berjudul “Dai Nippon” (Greater Japan).  Gagasan itu kemudian juga diperkirakan menjadi landasan sari doktrin “Fukoku Kyohei” (Rich Country Strong Army) yang melandasi dilakukannya pembangunan besar-besaran angkatan perang kekaisaran Jepang menjelang perang dunia ke-2
Kalau dilihat dari sudut pandang tataran pemikiran maka sesungguhnya Lebensraum maupun Fukoku Kyohei merupakan satu prasyarat dalam upaya mencapai cita-cita (baca Bab Pendahuluan) nasional.  Jadi geopolitik adalah pada hakekatnya prasyarat; dan karena harus dipenuhi secara nasional maka dapat juga disebut sebagai doktrin dasar negara
Sebagai satu doktrin dasar ia mengandungempat unsur utama yaitu:
1. Konsepsi ruang, yang merupakan pengejawantahan dari pemikiran negara sebagai        organisasi hidup;
2. Konsepsi frontier, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan dan lingkungan;
3. Politik kekuatan, yang menerangkan tentang kehidupan negara;
4. Tentang keamanan negara dan bangsa, yang kemudian melahirkan geostrategi.
·         Konsepsi ruang
Ruang merupakan inti dari geopolitik, sebab menurut Haushofer dan pengikutnya ruang merupakan wadah dinamika politik dan militer.  Dengan demikian sesungguhnya geopolitik merupakan cabang ilmu pengetahuannya yang mengaitkan  ruang dengan kekuatan fisik,  dimana pada kenyataannya kekuatan politik selalu menginginkan penguasaan ruang dalam arti ruang pengaruh, atau sebaliknya, penguasaaan ruang secara de facto dan de jure merupakan legitimasi dari kekuasaan politik.  Penguasaan ruang atau ruang pengaruh demikian itu pada intinya (menurut geopolitik) sesungguhnya merupakan satu fenomena spatial dari ruang itu sendiri.
Jika ruang pengaruh diperluas maka akan ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan; dan kerugian akan menjadi lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang.
Pada era perang dingin dapat kita saksikan bagaimana kedua kutub adi kuasa saling berusaha memperluas “sphere of influence” maupun ruang hegemoninya masing-masing.  Pada era itu negara-negara Dunia Ketiga saling diperebutkan agar ditarik ke dalam sphere of influence atau kedalam hegemoni, baik sebagai sekutu/allies ataupun sekadar sahabat/friendly countries.  Yang penting sekurang-kurangnya tidaklah mesra dengan kubu lawan.  Kita juga lihat bersama, disaat itu, tidak peduli satu negara diperintah secara kejam atau tidak  asalkan “setia” kepada pemimpin kubunya. 
Tidaklah mengherankan apabila kepala pemerintahan semacam Mobutu dirangkul, yang kemudian hari saat perang dingin selesai dicampakkan begitu saja atas tuduhan pelanggaran hak azasi manusia.  Maka berturut-turutlah beberapa kepala pemerintahan dinegara-negara Dunia Ketiga berguguran silih berganti setelah “ruang” yang mereka “kuasai” tidak lagi memiliki nilai strategi lagi.
Konsepsi strategi Indonesia yang mengatakan bahwa “pendudukan terhadap satu pulau dapat dianggap sebagai pendudukan seluruh negara” merupakan satu bukti lagi bahwa terdapat satu hubungan erat antara ruang dengan kekuatan dan kepentingan.  Kekuatan disini diartikan sebagai kekuatan penangkalan yang harus siaga dalam menghadapi kemungkinan, sekecil apapun, terjadinya pendudukan atas satu bagian kecil dari negara ini.
Keteguhan dan kesungguhan setiap negara atau bangsa mempertaruhkan setiap jengkal ruang yang berada di dalam wilayah kedaulatannya merupakan satu bukti juga adanya kaitan antara ruang dengan sifat negara sebagai organisme hidup.  Dalam hal ini berkurangnya ruang negara oleh sebab apapun juga memberi dampak psikologis pada penduduk akan berkurangnya ruang “bernafas”.
Tidaklah mengherankan apabila negara-negara kecil seperti Singapura atau Israel tidak dapat mentolerir berkurangnya ruang negara; dan akan selalu bereaksi sangat keras terhadap ancaman dari luar yang berpotensi untuk mampu mengurangi ruang negara mereka.  Untuk itu negara-negara semacam itu selalu mempersiapkan kekuatan militer yang tangguh dan mampu melancarkan pre-emptive strike (bila perlu diluncurkan dari luar negaranya).
Bertambahnya ruang negara atau berkurangnya ruang negara oleh berbagai jenis sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara dan bangsa.  Karena itu tidaklah mengherankan bahwa tiap negara mempertahankan kehormatan dan kedaulatannya dengan gigih dan konsisten.
Bahkan negara sebesar RRC harus berjuang mati-matian mempertahankan “haknya” atas pulau-pulau karang kecil, yang walaupun tenggelam pada saat air pasang, di kawasan Laut Cina Selatan.  Sehingga bila disimak benar-benar konflik territorial di Laut Cina Selatan sesungguhnya merupakan satu taruhan kehormatan dari negara-negara yang bertikai; dan ini memang amat sulit dicari titik temunya.
Apa sebenarnya yang amat mengherankan adalah keputusan Presiden Habibie yang begitu saja, kemungkinan besar hanya dilandasi oleh emosi atau saran staf yang kurang matang, memberikan dua opsi kepada rakyat Timor Timur.  Dan setelah ternyata rakyat Timor Timur memilih kemerdekaan, dengan entengnya pemerintahan menerimanya sebagai satu kewajaran.  Disini terlihat ketiadaan pertimbangan akan datang kenyataan bahwa ruang negara, sekecil apapun, terkait dengan kehormatan bangsa dan negara.  Inilah satu contoh yang amat mengherankan sekaligus menyedihkan.
Konsepsi ruang amat bermakna apabila dikaitkan dengan penduduk atau suku bangsa yang mendiaminya.  Pada zaman dahulu ruang hidup (living space atau Lebensraum) secara ideal harus dapat memenuhi atau mendukung kehidupan bangsa; karena itu bila dirasakan tidak lagi bisa mendukung kehidupan maka ada kecenderungan untuk “menambahnya” dan inilah awal dari peperangan.  Namun dalam zaman modern ini ruang hidup tidak harus berfungsi demikian; contohnya Singapura. Hampir seluruh kebutuhan hidup rakyat  Singapura “dibeli” dari luar, yang kemudian dibayar dari produk jasa dan industri.  Dengan demikian nilai strategis ruang menjadi bermakna apabila dikaitkan dengan produktivitas penduduk yang pada gilirannya terkait secara langsung dengan faktor karakter, pengetahuan, ekonomi,  industri dan sebagainya.
Apabila ahli geopolitik Jerman, seperti misalnya Erich Obst, menekankan pentingnya luas ruang bagi kehidupan satu bangsa (dan perkembangan dikemudian hari) maka Ray S. Clime lebih berorientasi pada masa kritis dari ruang yang bersangkutan.  Masa kritis disini merupakan penjumlahan dari masa kritis penduduk, yaitu jumlah riil penduduk yang produktivitasnya dapat diandalkan, ditambahkan dengan masa kritis geografi ruang, yaitu luas riil dari ruang yang secara alami bisa mendukung kehidupan rakyat dari segi produktivitasnya.
Ruang negara boleh luas, seperti Australia, akan tetapi karena sebagian besar berupa gurun pasir dan gurun tandus maka dari sudut pandang Cline masa kritisnya rendah. Atau apabila disingkat akan didapat : Mk (ruang) = MK (d) + Mk (g).
Luas ruang negara menjadi amat bermakna apabila dilihat dari segi strategis; sebab disitu akan berlaku strategi menukar waktu dengan ruang, dimana makna harfiahnya adalah tersedianya / disediakannya bagian ruang tertentu untuk diduduki sementara oleh  musuh, sementara itu kita mempersiapkan serangan balasan yang mematikan. Ini hanya bisa dilakukan apabila ruang negara cukup luas.
Karena itu, apabila ruang negara “sempit” maka hanya terbuka satu opsi yaitu : Pre-emptive Strike atau serang sebelum musuh siap. Mengapa demikian, karena tidak adanya cukup ruang untuk mempersiapkan dukungan logistik (ruang atau daerah belakang), untuk digunakan persiapan tempur (ruang atau daerah komunikasi), dan digunakan untuk manuver serta memukul musuh (ruang atau daerah tempur).
Juga apabila dilihat dari segi strategi, luas ruang negara menentukan tingkatan rasa aman dari penduduknya (security feeling); artinya bagaimana mereka sebagai satu bangsa bereaksi dan menyikapi terhadap ancaman dari luar. Tidaklah mengherankan apabila luas ruang dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan karakter satu bangsa. Bahkan menurut Morgenthau karakter bangsa merupakan salah satu faktor yang menentukan kekuatan dan ketahanan bangsa.
POKOK PEMBAHASAN VII
GEOPOLITIK sebagai DOKRIN DASAR NEGARA
·         Konsepsi Frontier
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa frontier merupakan batas imajiner dari pengaruh asing dari seberang boundary (batas negara secara hukum) terhadap rakyat satu negara. Ia sangat dinamis, dalam arti bisa bergeser-geser, dan berada di antara masyarakat bangsa. Atau dengan perkataan lain, secara politis dapat dikatakan bahwa pengaruh efektif dari pemerintah pusat tidak lagi mencakup seluruh wilayah kedaulatan melainkan dikurangi dengan luas wilayah sampai dengan batas frontier yang sudah dipengaruhi oleh kekuatan asing dari seberang boundary.
Pengaruh asing itu bisa berawal dari pengaruh budaya atau dari pengaruh ekonomi, akan tetapi yang pasti adalah bahwa hal itu tidak ditangani dengan segera oleh Pemerintah pusat maka akan berubah menjadi pengaruh politik yang akan berujung pada pemisahan diri dari wilayah sebatas frontier.
Pengalaman membuktikan bahwa selama ini, sejak 1976, perbatasan antara Timor-Timur dengan NTT adalah frontier bagi kita, sebab secara budaya kita gagal menyerap masyarakat Timor Timur masih kedalam budaya NTT. Padahal mereka merupakan satu suku bangsa. Contoh lain, adalah suku Kurdi yang telah membuat frontier di dalam negeri Turki dan Irak. Dalam halnya Turki, pemerintah secara militer “membasmi” suku Kurdi yang berada dalam frontier dengan maksud untuk menghilangkan sama sekali adanya frontier di dalam negara Turki.
Adanya frontier memang mengurangi ruang efektif yang berada dalam pengaruh pemerintah pusat, sehingga dampaknya hampir-hampir mirip dengan kehilangan sejengkal tanah yang berada di bawah kedaulatan. Atas dasar itu dapatlah difahami reaksi keras dari pemerintah Turki atas suku Kurdi karena kehormatan dan kewibawaan negara dan bangsa Turki menjadi taruhannya. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah adanya frontier merupakan masalah geopolitik yang menyangkut ruang.
 Dalam zaman sekarang ini frontier dapat juga terletak di luar batas negara dikaitkan dengan kepentingan geopolitik yang memang harus menjangkau keluar wilayah kedaulatan. Globalisasi telah membawa serta munculnya transparansi masyarakat bangsa dari pengaruh luar, sedemikian rupa sehingga Ketahanan Nasional saja tidaklah cukup untuk menjamin keamanan dan rasa aman bangsa dan negara apabila tidak ditopang oleh keamanan regional.
 Begitu juga kerjasama bilateral saja tidak cukup kuat apabila tidak  disertai dengan kerjasama regional dan internasional. Adanya kaitan sevara sinergis berjenjang demikian itu membawa implikasi bahwa geopolitik harus memiliki dimensi internasional. Karena itu frontier dalam zaman sekarang ini harus pula diberi makna batas imajiner sejauh mana kepentingan nasional terjamin pewujudannya atau pemenuhannya.
Sesungguh hal semacam itu telah dimainkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia sejak dahulu, hanya saja melalui wajah kekuatan militer. Dalam era perang dingin ia berwajah hegemoni ataupun containment strategy. Akan tetapi esensinya sama yaitu sphere of influence, yang batas luarnya merupakan frontier dari negara besar yang menggelar sphere of influence tadi.
Apabila dahulu Sphere of influence selalu diciptakan dan ditegakkan melalui mekanisme politik dan militer, dalam perkembangannya sekarang ini ia dapat diciptakan melalui mekanisme ekonomi dan perdagangan. Lihat saja sphere of influence dari yen Jepang yang kini hampir meliputi kawasan Asia Pacific bagian Timur, setidak-tidaknya seluruh Asia Tenggara berada di dalamnya.
 Singkatnya, frontier akan menjadi sphere of influence apabila ia terletak di luar batas negara.Kenyataan sekarang telah memaksa negara-negara dalam satu sub-kawasan bekerja sama untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat dengan cara meningkatkan bargaining power.
Dalam perdagangan global bargaining power tidak selama berupa kelebihan dalam murahnya satu produk, akan tetapi juga kelebihan dalam hanya conveniency dan security dalam arti yang luas. Jelaslah hal ini akan lebih menguntungkan apabila ditawarkan oleh kerjasama regional, karena conveniency maupun security akan lebih terjamin.
Oleh sebab itu, frontier yang terbentuk melalui kerjasama regional sesungguhnya merupakan satu frontier politik; dan apabila kerjasama regional terbentuk atas dasar kesamaan budaya atau agama maka dinamakan frontier budaya.
Mengingat negara dapat dianggap sebagai satu organisme hidup, maka frontier semacam di atas dinamakan frontier organik yaitu bahwa adanya atau terbentuknya karena kebutuhan organisme yang bernama negara.
POKOK PEMBAHASAN VIII
GEOPOLITIK sebagai DOKRIN DASAR NEGARA
·         Konsepsi Politik Kekuatan (Power)
Politik kekuatan merupakan salah satu faktor dalam geopolitik karena adanya kenyataan bahwa dinamika organisme negara di dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya maupun di dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa selalu dilandasi oleh kekuatan politik dan atau ekonomi, dan atau militer, atau salah dua, bahkan ketiga-tiganya secara paralel.
Jepang saat ini memainkan geopolitiknya dilandasi oleh kekuatan ekonomi dan sedikit faktor politik. Negara-negara besar Eropa melandasinya dengan politik dan ekonomi; sedangkan Amerika Serikat dengan ketiga-tiganya.
Semakin “menciutnya” ruang dunia sebagai akibat perkembangan teknologi, terutama teknologi telekomunikasi dan transportasi, disatu pihak sedangkan kepentingan negara-negara di dunia, terutama negara-negara besar, semakin mendunia maka semakin besar pula kemungkinannya terjadi persinggungan ataupun konflik kepentingan di berbagai tempat di dunia.
Disini nampak bahwa konflik terbuka atau perang pada dasarnya merupakan dinamika ruang dan kekuatan. Tidaklah mengherankan apabila Kjellen menyimpulkan bahwa negara besar dengan kekuatan besar selalu cenderung ekspansif secara spasial. Kalau toh sekarang ini Amerika Serikat terkesan malang-melintang sebagai polisi dunia hanyalah disebabkan oleh anggapannya secara unilateral.
Contoh kasus: Jepang saat ini memainkan geopolitiknya dilandasi oleh kekuatan ekonomi dan sedikit faktor politik. Negara-negara besar Eropa melandasinya dengan politik dan ekonomi; sedangkan Amerika Serikat dengan ketiga-tiganya.
bahwa ruang kepentingannya adalah dunia dan didukung oleh kekuatan nyata (baik ekonomi,politik, dan militer) yang mampu digelar setiap saat. Oleh sebab itu pameran kekuatan darat, laut dan udara adalah salah satu alat geopolitik di dalam pembentukan frontier.
Terasa menciutnya ruang dunia juga diikuti pula dengan meluasnya hak berdaulat bagi negara-negara pantai sebagai akibat diakuinya ZEE di dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Sebagai akibatnya management laut menjadi semakin rumit, terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia, disebabkan kepentingan negara-negara maritim “dibatasi” dengan berkurangnya freedom of  navigation.
Padahal freedom of navigation bagi negara-negara besar merupakan satu hal yang dikeramatkan sejajar dengan hak azasi manusia dan demokrasi; maka tidaklah mengherankan makin seringnya terjadi tabrakan kepentingan.
Tabrakan kepentingan akan menjadi tidak berimbang apabila kekuatan nyata tidak berimbang, seperti antara Indonesia dan Amerika Serikat. Kita mengetahui bahwa freedom of navigation bagi negara-negara besar sangat berkait dengan projection of power dan pembentukan sphere of influence, karena itu tidaklah mengherankan bagaimana mereka menyikapi keinginan Indonesia dalam penetapan archipelagie sea lanes.
 Pembicaraan dengan negara-negara besar memang telah dilakukan sebelum rancangan archipelagic sealanes diserahkan kepada International Maritime Organization (IMO) dan telah disetujui pada bulan Desember 1998.
 Untuk mewujudkan kepentingan nasional diperlukan kekuatan, yang pada gilirannya kekuatan memerlukan ruang gerak baik itu berupa ruang geografis maupun ruang politis. Misalkan saja kepentingan itu berupa peningkatan kegiatan perekonomian, maka kepada para pelaku pasar harus diberikan ruang gerak yang cukup agar lebih kompetitif dan produktif. Ruang gerak yang cukup, artinya demokratisasi, agar kegiatan ekonomi bisa berkembang bebas diseluruh ruang negara.
 Keperluan adanya demokratisasi ekonomi (tidak sekedar Liberalisasi saja) memerlukan dukungan demokratisasi politik agar tidak terjadi stagnasi.  Dahulu, ketika Uni Sovyet mengadakan demokratisasi politik secara luas yang tidak disertai dengan hal yang sama dibidang ekonomi maka negara tersebut berantakan.
 Hal yang sama juga terjadi pada Rusia sekarang. Lain halnya dengan RRC, dimana demokratisasi ekonomi jauh meninggalkan demokratisasi politik maka ternyata mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki, antara lain peristiwa Tienanmen.
Pelajaran yang dapat ditarik adalah bahwa perluasan ruang gerak harus dilaksanakan secara serentak pada semua bidang, agar mereka bisa saling menunjang.
Saat ini telah muncul dua gejala makro dipandang dari segi strategi yaitu bahwa dimensi ekonomi dari kekuatan telah semakin mengemuka, dan adanya pergeseran gravitasi kepentingan ke arah maritim. Kedua-duanya memiliki implikasi yang amat penting terhadap geopolitik, terutama bagi negara-negara maritim seperti Indonesia.
 Semakin mengemukanya dimensi ekonomi dari kekuatan menyebabkan antara lain : (a) faktor ekonomi telah dijadikan “senjata” untuk memaksakan kehendak, (b) munculnya Lembaga Keuangan Internasional sebagai kekuatan politik global; dan (c) berkembangnya regionalisme ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan posisi power.
Dilain pihak dengan adanya perdagangan yang mendunia, dimana setiap pasar domestik terkait satu sama lain; maka soal akses menjadi penting, baik akses terhadap pasar maupun akses terhadap sumber-sumber input bagi industri.
Sebagai konsekuensinya jalur-jalur pelayaran internasional (sea lines of communication/SLOC) menjadi amat vital.  Karena itulah kepentingan bergeser kearah maritim; siapa menguasai SLOC akan dapat menentukan pasar atau sebaliknya gangguan keamanan terhadap SLOC akan mempengaruhi keadaan pasar.
Tidaklah mengherankan apabila freedom of navigation dan terjaminnya keamanan sepanjang SLOC sehingga komoditi perdagangan mengalir secara lancar adalah pusat gravitasi kepentingan saat ini. Dapatlah dimengerti bahwa dipandang dari sisi ini Indonesia adalah  amat rawan karena SLOC vital antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik semuanya melewati perairan Indonesia.
Tiap perkembangan politik dan keamanan di Indonesia serta merta menjadi perhatian negara-negara besar hanya karena SLOC itu.  Bahkan setiap pergantian pemerintah atau pemilihan presiden-presiden mengundang berbagai bentuk intervensi.
·         Konsepsi Keamanan Negara dan Bangsa
 Pada akhirnya geopolitik juga ditujukan untuk menciptakan keamanan negara dan bangsa. Dari adanya kenyataan bahwa ketahanan nasional saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dalam negeri maka kemudian diputuskan menggelar frontier diluar batas negeri. Dari situ terwujudlah daerah penyangga (buffer zone) yang digunakan untuk memperluas ruang yang dapat ditukar dengan waktu dalam menghadapi ancaman fisik dari luar.
Jika selama ini ruang diartikan sebagai sesuatu yang riil secara geografi, maka sesungguhnya ruang bisa diartikan secara semu atau maya dari segi keamanan yaitu antara lain berbentuk semangat kesatuan dan atau semangat persatuan.  Maknanya adalah bahwa kesatuan dan atau persatuan merupakan penghambat atau memperlambat datangnya ancaman/musuh sehingga seakan-akan dipertukarkan dengan waktu.
Kesatuan dan atau persatuan yang dianjurkan oleh pemerintah bukanlah satu retorika politik akan tetapi merupakan langkah geopolitik.  Dengan lain perkataan apabila satu negara kehilangan kesatuan dan atau persatuan bangsa maka dampaknya akan sama dengan kehilangan ruang.
Era kolonialisme dengan kekuatan senjata telah berlalu akan tetapi politik dan strategi kolonial dalam bentuk devide-et-impera masih tetap dijalankan oleh kekuatan -kekuatan besar dunia saat ini dengan cara merontokkan persatuan dari dalam. Atau bahkan membuyarkan kesatuan dengan taktik balkanisasi di dukung oleh lembaga-lembaga internasional yang dimobilisir.
 Sehingga apabila keadaan dunia dipotret dengan kacamata negara berkembang, maka keadaan dunia semuanya telah berubah karena kemajuan teknologi akan  tetapi hanya satu yang tetap yaitu politik devide-et-impera negara-negara besar.
Membangun keamanan negara dan bangsa melalui upaya peningkatan dan pemantapan ketahanan nasional adalah langkah geopolitik, dimana hasilnya berupa ruang semu/maya yang semakin “luas” dalam bentuk kesatuan dan atau persatuan.  Karena itulah konsepsi keamanan dan pengamanan negara dan bangsa menjadi bahagian dari geopolitik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar